Tidak Ada Uzur bagi yang Jatuh dalam Kesesatan karena Persangkaan
Bersama Pemateri :
Ustadz Iqbal Gunawan
Tidak Ada Uzur bagi yang Jatuh dalam Kesesatan karena Persangkaan adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan Kitab Syarhus Sunnah karya Imam Al-Barbahari Rahimahullah. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Dr. Iqbal Gunawan, M.A Hafidzahullah pada Rabu, 30 Safar 1446 H / 4 September 2024 M.
Kajian Islam Tentang Tidak Ada Uzur bagi yang Jatuh dalam Kesesatan karena Persangkaan
Perkataan beliau “Tidak ada uzur bagi seorang pun karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan kebenaran,” Tentu yang tidak mendapatkan uzur adalah mereka yang telah sampai kepada mereka hujjah, yakni ayat-ayat dan makna-makna Al-Qur’an, hadits-hadits yang shahih, dan itu semua telah dijelaskan oleh para ulama melalui ceramah-ceramah dan kitab-kitab mereka, serta oleh para dai, ustadz, syaikh, dan penceramah lainnya.
Rekaman ceramah dan kajian tersebar di mana-mana. Bagi orang yang hidup di tengah-tengah mereka, mengetahui tentang keberadaan penjelasan-penjelasan tersebut, namun tetap meninggalkannya, maka tidak ada uzur bagi mereka.
Adapun orang yang benar-benar tinggal di pelosok yang sangat jauh, tidak sampai kepada mereka berita, atau tidak ada sarana yang dapat menyampaikan ilmu kepada mereka, termasuk orang yang baru masuk Islam, mereka itulah yang mendapatkan uzur. Namun, bagi orang yang hidup di tengah kaum muslimin, di tengah para ulama, dan sarana-sarana ilmu, tidak ada uzur bagi mereka jika tersesat dalam agama. Mereka yang hanya mengandalkan persangkaan dan mengatakan, “Saya menyangka bahwa ini adalah yang benar,” tanpa mendatangi majelis ilmu dan tidak bertanya kepada ulama, tidak mendapatkan uzur.
Tentunya, seorang yang jujur dalam mencari kebenaran akan dibimbing oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan diberikan taufik. Sebab, jika seseorang benar-benar ingin mempelajari agama, dia harus bertanya kepada orang yang diakui keilmuannya dan sumber ilmunya. Dia juga harus memperhatikan ketakwaan orang dari siapa ia mengambil ilmu. Tentu dia hanya bisa melihat secara dzahir, misalnya tentang shalat dan akhlaknya.
Sebagaimana kata para ulama, “Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka hendaklah seseorang memperhatikan dari siapa dia mengambil agamanya.” Jika seseorang ingin membeli sesuatu, tentu dia akan memilih barang yang terbaik. Ketika seseorang ingin berobat, tentu dia memilih dokter yang mumpuni dalam ilmu kedokteran. Demikian pula, ketika seseorang ingin mempelajari agama, memperbaiki hatinya, dan ingin selamat di akhirat, dia harus sangat selektif dalam memilih sumber ilmunya.
Maka, memiliki guru-guru terbaik yang dia ambil ilmunya dan membaca buku-buku yang telah direkomendasikan oleh para ulama yang terpercaya keilmuan, ketakwaan, dan kehati-hatiannya, adalah hal yang sangat penting.
Al-Qur’an telah dijelaskan tafsirnya, dan banyak penjelasan tersebut yang sudah diterjemahkan. Demikian juga dengan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, seperti dalam Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan At-Tirmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah, dan kitab-kitab sunnah lainnya. Sebagian besar hadits ini telah diterjemahkan, dan banyak penjelasan mengenai derajat keabsahan serta makna-maknanya yang telah diberikan. Tentunya, seorang pelajar butuh bimbingan ketika belajar. Oleh karena itu, dia harus bertanya kepada guru yang terpercaya ilmunya.
Orang yang hidup di tengah kaum muslimin, di antara para ahli ilmu dan sarana-sarana ilmu, tidak memiliki uzur jika dia tidak mendatangi majelis ilmu atau tidak bertanya. Maka, dia wajib mendatangi majelis ilmu untuk meminta penjelasan, yang Alhamdulillah saat ini sudah tersebar luas.
Apabila dia masih tidak mengetahui, kelalaian itu berasal dari dirinya sendiri. Dialah yang malas, yang tidak bertanya, dan tidak mendatangi majelis ilmu, sehingga kesesatan muncul dari dirinya. Karena itu, Imam Al-Barbahari rahimahullah mengatakan bahwa tidak ada uzur bagi orang yang demikian. Sebab, dialah yang lalai, dialah yang malas untuk bertanya.
Tidak ada uzur bagi seseorang yang jatuh dalam kesesatan dan hanya mengandalkan persangkaan. Dia menyangka bahwa itulah yang benar, padahal Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
…إِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا…
“Sesungguhnya dugaan/prasangka itu tidak bermanfaat dari kebenaran sedikitpun.” (QS. Yunus [10]: 36)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِنَّهُمْ لَيَصُدُّونَهُمْ عَنِ السَّبِيلِ وَيَحْسَبُونَ أَنَّهُم مُّهْتَدُونَ
“Dan sesungguhnya mereka terhalang dari jalan yang benar, dan mereka menyangka bahwa mereka berada di atas petunjuk.” (QS. Az-Zukhruf [43]: 37)
Mereka menghalangi orang-orang yang mengikuti kebenaran, namun menyangka bahwa mereka berada di atas petunjuk. Maka persangkaan dan praduga mereka ini tidak bermanfaat dan tidak menolong sedikit pun. Karena kesalahan mereka sendiri. Mereka tidak kembali kepada Al-Qur’anul Karim, tidak kembali kepada hadits-hadits shahih, serta tidak merujuk kepada penjelasan para ulama. Mereka hanya mengikuti prasangka tanpa berusaha mencari kebenaran dengan baik. Akibatnya, mereka tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang batil, sebab yang mereka ikuti hanyalah hawa nafsu.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menegaskan bahwa mereka menyangka berada di atas kebenaran, namun persangkaan ini tidak bermanfaat sama sekali. Allah mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang tersesat.
Tidak cukup bagi seseorang untuk berkata, “Aku menyangka, aku menduga,” tanpa mendatangi para ulama, ahli ilmu, atau orang-orang yang benar-benar dipercaya dalam keilmuan dan ketakwaannya kepada Allah. Al-Qur’an telah sampai kepada kita, penjelasannya telah tersebar di mana-mana, begitu juga dengan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Penjelasan tentang hadits-hadits tersebut sudah sampai kepada sebagian besar kaum muslimin.
Maka, tidak ada uzur bagi orang yang hidup di tengah-tengah kaum muslimin, di antara sarana-sarana ilmu yang lengkap, namun dia hanya mengikuti hawa nafsunya.
Dalam ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّهُمُ اتَّخَذُوا الشَّيَاطِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَيَحْسَبُونَ أَنَّهُم مُّهْتَدُونَ
“Sesungguhnya mereka menjadikan setan-setan sebagai wali-wali mereka selain Allah, dan mereka menyangka bahwa mereka berada di atas petunjuk.” (QS. Al-A’raf [7]: 30)
Perhatikan ayat ini, Allah menyatakan bahwa mereka menjadikan setan-setan, baik dari kalangan jin maupun manusia, sebagai wali-wali mereka. Mereka menjadikan setan-setan sebagai teman dekat, selain Allah ‘Azza wa Jalla, dan menyangka bahwa mereka berada di atas petunjuk. Apakah setan menginginkan kebaikan? Tentu tidak. Allah ta’ala berfirman:
وَمَنْ يَعْشُ عَنْ ذِكْرِ الرَّحْمَٰنِ نُقَيِّضْ لَهُ شَيْطَانًا فَهُوَ لَهُ قَرِينٌ
“Dan barang siapa yang berpaling dari peringatan Allah yang Maha Pengasih, Kami jadikan setan sebagai teman yang selalu menyertai mereka.” (QS. Az-Zukhruf [43]: 36)
Ini adalah hukuman bagi orang yang lalai dan menjadikan setan sebagai teman dekatnya. Orang-orang yang mengikuti langkah-langkah setan dan menyangka bahwa mereka berada di atas petunjuk, padahal persangkaan tersebut tidak bermanfaat karena kebenaran telah disampaikan, hujjah telah ditegakkan, dan tidak ada uzur bagi mereka yang bermalas-malasan, berpaling, tidak mendengarkan, tidak bertanya, dan tidak mencari kebenaran.
Namun, uzur diberikan dalam masalah yang memang samar, dalam perkara yang diperselisihkan oleh para ulama sejak dahulu. Misalnya, ketika mereka berbeda pendapat tentang keshahihan suatu hadits atau tentang permasalahan yang tidak ada nas atau keterangan yang jelas. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ وَاحِدٌ
“Apabila seorang hakim berijtihad, lalu ia benar, maka baginya dua pahala. Namun, jika ia salah, maka baginya satu pahala.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Bagaimana penjelasan lengkapnya? Mari download mp3 kajian dan simak pembahasan yang penuh manfaat ini.
Download MP3 Kajian
Podcast: Play in new window | Download
Artikel asli: https://www.radiorodja.com/54466-tidak-ada-uzur-bagi-yang-jatuh-dalam-kesesatan-karena-persangkaan/